1. Apa pendapat ustaz ttg baldi-baldi air yang digunakan oleh masyarakat Islam pada hari ini yang diletakkan mereka di dalam bilik air mahu pun tandas. Saya rasa sukatannya tidak melebihi 2 kolah , tambahan pula jarang baldi tersebut diisi sehingga penuh. Dan saya lihat, ramai di kalangan mereka tidak mengambil peduli akan tahap perubahan air itu seperti mutlak, mustakmal dsb. Kebanyakan mereka mandi dan bersuci dengan air tersebut. Malah, ada yang berwudhu’ dan mandi hadas besar juga dengan air tersebut. Bukankah walau setitik air daripada bhgn luar yang masuk ke dalam baldi tersebut, air tersebut sudah dikira sebagai air mustakmal? dan jika yang masuk itu adalah najis walaupun sedikit, bukankah ia telah jatuh ke tahap air mutanajjis yang najis dan menajiskan? Bermakna… air tersebut sudah langsung tidak boleh digunakan. Saya bukannya ingin terlalu mengambil berat akan masalah ini tapi kadang-kadang tu… jelas, kanak-kanak kecil dan ada yang masih belum mumayyiz juga mandi dan bermain air… dengan menggunnakan air tersebut sehingga meragukan kita untuk menggunakannya. Saya sendiri tidak begitu mengalami masalah ini kerana di rumah saya, terdapat sebuah kolah. Jadi, bagaimana dengan pendapat ustaz? atau, terdapat rukhsoh dan keringanan dalam perkara ini. ? Dan jika jelaaas tidak boleh, apakah hukumnya jikalau kita berimamkan orang yang jelas kita tahu menggunakan air tersebut untuk bersuci?
2. Apakah hukumnya bagi air yang mengalir? Cthnya pada musim hujan spt sekarang. Air kadang2 naik sehingga paras buku lali di sesetengah tempat. Jadi , apakah hukumnya air itu? Perlukah kita meneliti dari mana datangnya air tersebut atau sbgnya?
Salam
Perihal air ada kami bincangkan di forum Petikan Feqhus Sunnah: Mengenali jenis-jenis air
Di sini kami himpun dan rumuskan berkaitan bab air ini.
MACAM PERTAMA : AIR MUTLAK
Hukumnya ialah bahwa ia suci lagi menyucikan, artinya bahwa ia suci pada dirinya dan menyucikan bagi lainnya. Di dalamnya termasuk macam-macam air berikut:
1. Air hujan, salju atau es, dan air embun, berdasarkan firman Allah Taala:
Artinya:
Dan diturunkan-Nya padamu hujan dari langit buat menyucikanmu.
(Al-Anfal: 11)
Dan firman-Nya:
Artinya:
Dan Kami turunkan dan langit air yang suci lagi mensucikan.
(Al-Furqan:48
Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a. katanya:
Adalah Rasulullah saw. bila membaca takbir di dalam sembahyang diam sejenak sebelum membaca Al-Fatihah, maka saya tanyakan: Demi kedua orangtuaku wahai Rasulullah! Apakah kiranya yang Anda baca ketika berdiamkan diri di antara takbir dengan membaca Al-Fatihah? Rasulullah pun menjawab:
Artinya:
Saya membaca: Ya Allah, jauhkanlah daku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau inenjauhkan Timur dan Barat. Ya Allah bersihkanlah daku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dan kotoran. Ya Allah, sucikanlah daku dan kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun.
(H.R. Jamaah kecuali Turmudzi)
2. Air laut, berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a. katanya:
Seorang laki-laki menanyakan kepada Rasulullah, katanya: Ya Rasulullah, kami biasa berlayar di lautan dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudhuk, akibatnya kami akan kehausan, maka bolehkah. kami berwudhuk dengan air laut? Berkatalah Rasulullah saw.:
Artinya:
Laut itu airnya suci lagi mensucikan(2), dan bangkainya halal dimakan.
(Diriwayatkan oleh Yang Berlima)
Berkata Turmudzi: Hadits ini hasan lagi shahih, dan ketika kutanyakan kepada Muhammad bin Ismail al-Bukhari tentang hadits ini, jawabnya ialah: Hadits itu shahih.
3. Air telaga, karena apa yang diriwayatkan dan Ali r.a.: Artinya:
Bahwa Rasulullah saw. meminta seember penuh dan air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakainya buat berwudhuk.
(H.r. Ahmad)
4. Air yang berobah disebabkan lama tergenang atau tidak mengalir, atau disebabkan bercampur dengan apa yang menurut ghalibnya tak terpisah dari air seperti kiambang dan daun-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air itu tetap termasuk air mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air yang dapat disebut air secara mutlak tanpa kait, boleh dipakai untuk bersuci. Firman Allah Taala:
Artinya
Jika kamu tiada memperoleh air, maka bertayammumlah kamu!
(Al-Maidah: 6)
MACAM KEDUA: AIR MUSTAMAL,YANG TERPAKAI
Dalam bentuk air ini lah menjadi khilaf ulama mengenai kesuciannya untuk berwudhu
Kita telah dibesarkan dalam lingkungan mazhab Syafii. Maka logikla kalau dikatakan apa yang kita pelajari di alam persekolahan dulu merupakan pendapat mazhab Syafii. Dan mengikut mazhab Syafii air mustakmal tidak boleh digunakan untuk bersuci. Ini kena dgn Imam Syafii yang mengambil berat bab Taharah berbanding Imam Mazhab yg lain. Walaupun begitu, jumhur ulama mengatakan bahwa air mustakmal suci lagi menyucikan. Ini termasuklah juga pentahqeeq semula. Berikut diringkaskan pendapat2 tersebut:
Pendapat mazhab Syafi'I mengenai air musta'mal:
Mazhab jadid/baru: Suci tetapi tidak boleh menyucikan.
Mazhab qadim/lama: Suci dan boleh menyucikan.
Alasan pendapat mazhab Syafi'I yang mengatakan air mustakmal tidak boleh menyucikan ialah, para sahabat Nabi s.a.w. tidak pernah menghimpun air musta'mal utk kegunaan bersuci. Jika ketiadaan air, mereka tidak akan gunakan air musta'mal untuk bersuci, tetapi digantikan dengan bertayammum
Jumhur: air mustakmal itu suci lagi menyucikan
Alasannya: Hukumnya suci lagi menyucikan sebagai halnya air mutlak tanpa berbeda sedikitpun. Hal itu ialah mengingat asalnya yang suci, sedang tiada dijumpai suatu alasan pun yang mengeluarkannya dari kesucian itu.
Juga karena hadits Rubaiyi binti Muawwidz sewaktu menerangkan cara wudhuk Rasulullah saw. katanya:
Dan disapunya kepalanya dengan sisa wudhuk yang terdapat pada kedua tangannya.
Juga dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. berjumpa dengannya di salah satu jalan kota Madinah,. sedangkan waktu ia dalam keadaan junub. Maka ia pun menyelinap pergi dari Rasulullah lalu mandi, kemudian datang kembali. Ditanyakanlah oleh Nabi saw.; ke mana ia tadi, yang dijawabnya bahwa ia datang sedang dalam keadaan junub dan tak hendak menemaninya dalam keadaan tidak suci itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw.:
Artinya:
Maha Suci Allah, orang Mukmin itu tak mungkin najis.
(H.R. Jamaah)
Jalan mengambil hadits ini sebagai alasan ialah karena di sana dinyatakan bahwa orang Mukmin itu tak mungkin najis. Maka tak ada alasan menyatakan bahwa air itu kehilangan kesuciannya semata karena bersentuhan, karena itu hanyalah bertemunya barang yang suci dengan yang suci pula hingga tiada membawa pengaruh apa-apa.
Berkata Ibnul Mundzir: Diriwayatkan dari Hasan, Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, Atha, Makhul dan Nakhai bahwa mereka berpendapat tentang orang yang lupa menyapu kepalanya lalu mendapatkan air di janggutnya: Cukup bila ia menyapu dengan air itu. Ini menunjukkan bahwa air mustamal itu mensucikan, dan demikianlah pula pendapatku.
Dan madzhab ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Malik dan SyafiI(lama), dan menurut Ibnu Hazmin juga merupakan pendapat Sufyan As-Sauri, Abu Tsaur dan semua Ahli Zhahir.
MACAM KETIGA: AIR YANG BERCAMPUR DENGAN BARANG YANG SUCI
Misalnya dengan sabun, kiambang, tepung dan lain~1ain yang biasanya terpisah dari air.
Hukumnya tetap mensucikan selama kemutlakannya masih terpelihara. Jika sudah tidak, hingga ia tak dapat lagi dikatakan air mutlak, maka hukumnya ialah suci pada dirinya, tidak mensucikan bagi lainnya.
Diterima dari Ummu ‘Athiyah, katanya:
Artinya:
“Telah masuk ke ruangan kami Rasulullah saw. ketika wafat puterinya, Zainab, lalu katanya: “Mandikanlah ia tiga atau lima kali atau lebih banyak lagi jika kalian mau, dengan air dan daun bidara, dan campurlah yang penghabisan dengan kapur barus atau sedikit daripadanya. Jika telah selesai beritahukanlah padaku.” Maka setelah selesai, kami sampaikanlah kepada Nabi. Diberikannyalah kepada kami kainnya serta katanya: “Balutkanlah pada rambutnya!" Maksudnya kainnya itu.
(H.R. Jama’ah)
Sedang mayat tak boleh dimandikan kecuali dengan air yang sah untuk mensucikan orang yang hidup.
Dan menurut riwayat Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dar hadits Ummu Hani’, bahwa Nabi saw. mandi bersama Maimunah dari sebuah bejana, yaitu sebuah pasu yang di dalamnya ada sisa tepung.
Jadi di dalam kedua hadits terdapat percampuran, hanya tidak sampai demikian rupa yang menyebabkannya tak dapat lagi disebut air mutlak.
MACAM KEEMPAT: AIR YANG BERNAJIS
Pada macam air ini terdapat dua keadaan:
Pertama: bila najis itu merobah salah satu di antara rasa, warna atau baunya.
Dalam keadaan ini para ulama sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci sebagai disampaikan oleh Ibnul Mundzir dan Ibnul Mulqin.
Kedua: bila air tetap dalam keadaan mutlak, dengan arti salah satu diantara sifatnya yang tiga tadi tidak berobah. Hukumnya ia adalah suci dan mensucikan, biar sedikit atau banyak.
Alasannya ialah hadits Abu Hurairah r.a katanya:
Artinya:
Seorang badui berdiri lalu kencing di masjid. Orang-orang pun sama berdiri untuk menangkapnya. Maka bersabdalah Nabi saw: Biarlah dia, hanya tuangkanlah pada kencingnya setimba atau seember air! Kamu dibangkitkan adalah untuk memberi keentengan/kemudahan, bukan untuk menyukarkan.
(Hr. Jamaah kecuali Muslim)
Juga hadits Abu Said al-Khudri r.a. katanya
Artinya:
Dikatakan orang : Ya Rasulullah, bolehkah kita berwudhuk dari telaga Budha'ah (3) Maka bersabdalah Nabi saw.: Air itu suci lagi mensucikan, tak satu pun yang akan menajisinya.
(H.r. Ahmad, Syafii, Abu Daud, Nasai dan Turmudzi).
Turmudzi mengatakan hadits ini hasan, sedang Ahmad berkata Hadits telaga Budha'ah adalah shahih. Hadits ini disahkan pula oleh Yahya bin Ma in dan Abu Muhammad bin Hazmin.
Ini adalah pula pendapat dan Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnul Musaiyab, Ikrimah, Ibnu Abi Laila, Tsauri, Daud Azh-Zhahiri, Nakhai, Malik dan lain-lain.
Gazzali berkata : Saya berharap kiranya madzhab Syafii mengenai air, akan sama dengan madzhab Malik.
Adapun hadits Abdullah bin Umar r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:
Jika air sampai dua kulah, maka ia tidaklah mengandung najis. (H .r. Yang Berlima), maka ia adalah mudhtharib, artinya tidak keruan, baik sanad maupun matannya.
Berkata Ibnu Abdil Barr di dalam At-Tahmid. Pendirian Syafii mengenai hadits dua kulah, adalah madzhab yang lemah dari segi penyelidikan, dan tidak berdasar dari segi alasan.
Walaupun begitu, dalil ini disahkan boleh dipakai oleh al-Muhaddith alBani
Dari rumusan di atas ini, jelaslah kepada kita bahawa air mustakmal yg tidak bertukar sifat adalah menyucikan mengikut pendapat jumhur ulama’. Maka ia dibolehkan untuk kita berwudhu’ dgnnya.
Berkenaan soalan saudara di bawah ini:
Apakah hukumnya bagi air yang mengalir? Cthnya pada musim hujan spt sekarang. Air kadang2 naik sehingga paras buku lali di sesetengah tempat. Jadi , apakah hukumnya air itu? Perlukah kita meneliti dari mana datangnya air tersebut atau sbgnya?
Air tersebut adalah suci dan menyucikan. Apa yg ghaib bagi kita, tidak perlu ditanya. Islam tidak memberatkan umatnya untuk mengorek hingga ke lubang cacing. Allahua’lam.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment